Antara Harapan dan Tantangan Membangun Sistem Berkeadilan

Antara Harapan dan Tantangan Membangun Sistem Berkeadilan

Dalam dunia politik, pemimpin sering kali dinilai bukan hanya dari tindakan mereka, tetapi juga dari nilai-nilai pribadi yang mereka tunjukkan. Salah satu nilai yang sering diapresiasi adalah kemurahan hati. Namun, apakah kemurahan hati dapat menjadi dasar yang cukup untuk menciptakan tata kelola yang efektif dan berkeadilan? Pertanyaan ini menggiring kita pada diskusi lebih dalam tentang peran nilai personal seorang pemimpin dalam menghadapi kompleksitas sistem hukum dan tantangan masyarakat.

Kemurahaan hati merupakan kualitas moral yang sering diasosiasikan dengan keutamaan etika dalam kepemimpinan,Bahwa keutamaan moral seperti kemurahan hati adalah bagian dari karakter manusia yang baik. Namun, Aristoteles juga berbicara bahwa keutamaan ini hanya relevan jika diimbangi dengan kebijaksanaan praktis (phronesis), yaitu kemampuan untuk bertindak sesuai dengan konteks. Dalam konteks pemerintahan, kemurahan hati seorang pemimpin mungkin memberikan penghiburan sementara, tetapi tidak cukup untuk menjadi solusi jangka panjang tanpa didukung oleh kebijakan dan sistem yang kuat.Seorang pemimpin yang murah hati dapat menyelesaikan masalah dengan pendekatan personal, seperti memberikan bantuan langsung kepada individu atau kelompok tertentu.

Namun, tindakan ini sering kali tidak berkelanjutan karena tidak mengatasi akar masalah. Seperti yang dikatakan filsuf politik John Locke dalam Two Treatises of Government, “The end of law is not to abolish or restrain, but to preserve and enlarge freedom.” Artinya, hukum dan sistem adalah sarana untuk menciptakan keadilan yang meluas, bukan hanya solusi sesaat untuk kepentingan individu karena dalam realitas politik, kebenaran sering kali bersifat relatif dan subjektif. Dalam kepentingan politik, apa yang benar bagi satu kelompok belum tentu dianggap benar oleh kelompok lain.

Dalam konteks lokal seperti Kabupaten Sukabumi, “kebenaran” yang diakui oleh satu partai politik bisa berbeda dari partai lainnya. Namun, masalah muncul ketika relativitas ini membuat pemimpin mengabaikan persoalan nyata yang dihadapi masyarakat.Kebenaran dalam politik tidak melulu tentang persepsi, tetapi juga tentang dampak kebijakan. Jika pemimpin hanya berfokus pada mempertahankan citra murah hati, maka mereka berisiko mengesampingkan langkah-langkah strategis yang lebih penting, seperti penguatan regulasi lokal atau pembangunan sistem yang menjamin keberlanjutan.

Hukum dan sistem yang ada, seperti peraturan daerah (Perda) atau peraturan bupati (Perbub), sering kali dirancang untuk mengatasi masalah tertentu. Namun, tanpa pengawasan dan implementasi yang tepat, hukum ini hanya akan menjadi dokumen formalitas tanpa dampak nyata bagi masyarakat.Di sinilah pentingnya keseimbangan antara nilai moral pemimpin dan keberadaan sistem hukum. Pemimpin yang baik tidak hanya mengandalkan nilai pribadi, tetapi juga menggunakan hukum sebagai instrumen untuk mencapai keadilan substantif.

Sukabumi merupakan konteks masyarakat yang plural, pemimpin dituntut untuk memiliki keberpihakan yang jelas terhadap kelompok yang paling rentan. Pemimpin yang “nyaah ka nu leutik” (peduli kepada yang kecil) adalah gambaran ideal yang sering diharapkan masyarakat Kabupaten Sukabumi. Namun, keberpihakan ini harus diimbangi dengan visi politik yang jelas dan sistem yang efektif.

Seperti yang dikatakan Hannah Arendt dalam The Human Condition, “Politics is the art of creating space where freedom and justice can flourish.” Pemimpin tidak hanya harus hadir secara emosional, tetapi juga menciptakan ruang di mana masyarakat dapat berkembang secara adil dan merata dalam jangka pendek, kemurahan hati dapat membantu meredakan ketegangan sosial. Namun, dalam jangka panjang, hal ini berisiko menciptakan budaya ketergantungan yang tidak sehat tanpa struktur dan sistem yang kuat, masyarakat akan kembali pada kondisi state of nature, di mana ketidakpastian dan konflik menjadi dominan.

Kemudian kita harus menyadari bahwa Pendidikan sebagai Fondasi transformasi berkeadilan,Immanuel Kant dalam esainya What is Enlightenment? menyatakan bahwa pendidikan adalah kunci untuk membebaskan manusia dari “ketidakdewasaan” mereka, yaitu ketergantungan pada otoritas tanpa pemikiran kritis.

Masyarakat yang terdidik akan lebih mampu menilai kebijakan pemimpin dan mendorong perubahan yang berbasis pada prinsip-prinsip keadilan.Dibutuhkan perpaduan antara nilai personal, sistem hukum yang kuat, dan pendidikan masyarakat untuk menciptakan tata kelola yang berkeadilan.Pemimpin harus fokus pada tugas mereka untuk menciptakan keadilan substantif melalui kebijakan yang efektif, terlalu besar kabupaten Sukabumi untuk menyerah!

Baca juga : https://msodikin.id/kenali-dirimu-jauhi-pengaruh-buruk/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *